Rabu, 22 Oktober 2014

Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
1.     Kejahatan genosida;
2.     Kejahatan terhadap kemanusiaan

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1.     Membunuh anggota kelompok;
2.     mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3.     menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4.     memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5.     memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1.     pembunuhan;
2.     pemusnahan;
3.     perbudakan;
4.     pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5.     perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6.     penyiksaan;
7.     perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8.     penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9.     penghilangan orang secara paksa; atau
10.   kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)



Referensi :http://gurupkn.wordpress.com/2008/02/22/pengertian-pengertian-hak-asasi-manusia/ dan bbc indonesia

Demokrasi

DALAM kehidupan sosial kita,  terutama di indonesia,  tentu tidak terlepas dari ragam budaya yang sudah tumbuh dan berkembang ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu, kita sebagai bagian dari masyarakat yang berinteraksi didalam kehidupan masyarakat berbudaya tentu tidak bisa melepas nilai-nilai budaya yang kita yakini selama ini menghantarkan kita pada era modern ini tanpa harus kehilangan jati diri.
Demokrasi sendiri adalah suatu sistem yang sebenarnya terlebih dahulu berkembang di dunia Barat yang pada akhirnya masuk ke Indonesia thn 1954-1959 dikenal dengan era demokrasiliberal atau demokrasi perlementer, kedua 1959-1965 demokrasi terpimpin dikenal dgn orde lama, ketiga 1965-1998 demokrasi pancasila dikenal dengan orde baru dan 1998  dinamakan era reformasi sampai saat ini.
Demokrasi di Indonesia sebenarnya mengalami pasang surut sampai saat ini dikarenakan orientasi dari sistem yang ada masih berorientasikan kepada politik kekuasaan sehingga tujuan politik itu sendiri menjadi terabaikan yaitu kemaslahatan rakyat itu sendiri.
Dengan keaneka ragaman budaya dan agama yang ada diindonesia membuat kita menganut faham demokrasi pancasila yang mana didalamnya termaktub ”Bhineka Tunggal Ika”.
Niatan pendiri bangsa sebenarnya sangatlah baik pada saat memilih azas pancasila sebagai landasan tunggal didalam interaksi sosial masyarakat yang ada di negeri ini. Namun sayangnya sistem demokrasi yang ada dijalankan tanpa diiringi dengan pemahaman dari pemerintah pada saat implementasinya terkait tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat indonesia itu sendiri.
Sehingga demokrasi yang ada malah membuat nilai budaya yang menjadi kabur bahkan nyaris lenyap. Hal ini dapat kita lihat dengan banyaknya konflik horizontal yang timbul didalam implementasi sistem demokrasi pancasila itu sendiri, seolah olah perbedaan itu menjadi sesuatu yang tabu bahkan tidak boleh ada, budaya santun didalam mengekspresikan perbedaan itupun menjadi sirna. Apakah hal ini yang menjadi cita-cita pendiri bangsa? Kita rasa tidak.
Budaya politik itu merupakan cerminan sikap khas dari warga negara terhadap sistem politik dan sub sistem politik itu sendiri, karena itu bagian dari kepercayaan, kebiasaan dan prilaku yg berkaitan dengan kehidupan sosial yang mempengaruhi sistem politik.
Dalam sebuah masyarakat yang mempunyai kecendrungan sikap dan orientasi politik dengan karakteristik yang bersifat efektif, maka akan membentuk budaya politik yang bersifat pasif karena umumnya hanya menerima saja karena merasa tidak mampu merubah sistem politik yang ada.
Sementara masyarakat yang sangat dominan memiliki kompetensi politik yang tinggi dimana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang sedang berjalan akan membentuk budaya politik yg partisipan.
Sedikit kita mencoba menghubungkan dengan prilaku masyarakat di kabupaten kerinci maupun kota sungai penuh yang mana kita dapati bahwa euforia politik berkepanjangan terjadi sehingga kita sulit apakah ini menjadi “hobby” atau memang partisipasi yang luar biasa? Kondisi ini menjadi sesuatu yang menggembirakan apabila dapat diarahkan kepada politik yang tidak meninggalkan jatidiri budaya yang ada.
Kondisi saat ini dapat dirasakan orientasi politik semata-mata berhenti pada kekuasaan sehingga nilai budaya menjadi sirna. Budaya yang dimaksud adalah budaya saling menghargai dan saling menghormati, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, kahile kamudek dibusamo.
Budaya politik yg berkembang di Indonesia umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen sama halnya dengan Kota Sungai Penuh khususnya. Kondisi masyarakat yang heterogen selain dapat memperkaya berkembangnya budaya politik yang beragam, juga dapat menjadi suatu ancaman terhadap keutuhan dari persatuan itu.
Untuk menghindari terjadi disintegrasi negeri perlu menanamkan nilai-nilai dasar yang dapat mengikatkan rasa PERSATUAN dan KESATUAN masyarakat seperti toleransi, kekeluargaan, musyawarah mufakat,, gotong royong jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Yang terpenting adalah bukan membicarakan perbedaan yang ada, tetapi bagaimana menyatukan pandangan utk kepentingan negeri ini.
Saat ini seolah-olah ada pembiaran yang terjadi terhadap lunturnya nilai adat/budaya yg selama ini kita yakini mampu mempersatukan perbedaan yang terjadi pada tingkatan masyarakat. Apakah ini dikarenakan sistem demokrasi pancasila yang sudah dipilih atau memang peranan pemangku negeri sudah diabaikan atau memang sudah tidak berfungsi sebagai mana mestinya?  Hal ini harusnya menjadi PR bagi seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah, orang adat, ulama, cendikiawan dan pemuda di dalam meletakkan kembali pondasi bagi generasi penerus kita baik ditingkatan desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi dan negara.
Rekonsiliasi itu bukan agenda 5 tahunan namun merupakan agenda harian yg harus selalu dilakukan sehingga masyarakat kita siap dalam kondisi terburuk sekalipun. Dapat dibayangkan seandainya penjajahan itu terjadi pada saat ini mungkin tidak lebih dari 7X24 jam bangsa ini dapat ditaklukkan karena sudah rapuh dan persatuan hanya slogan semata.
Oleh karena itu kita sebagai bagian dari sub sistem dari budaya dan sub sistem dari demokrasi itu sendiri harus mulai membenahi diri didalam menjaga budaya sebagai warisan leluhur, dan menjalankan demokrasi sebagai ketetapan pendiri bangsa tanpa harus kehilangan jati diri kita sebagai mahluk sosial yg memiliki nilai norma dan etika didalam berinteraksi.
Kita berharap perubahan tersebut dapat dimulai diri kita, keluarga, lingkungan kecil kita lalu akan menjadi contoh bagi yg lain. Jadi khususnya bagi para generasi penerus bangsa ini jangan malu atau takut utk memberikan contoh yg baik meskipun harus mendapat cibiran. Yakinlah bahwa apapun yg kita lakukan saat ini bukan utk diri kita, namun utk generasi penerus kita. Salam PERSATUAN.

Referensi: http://www.jambiekspres.co.id/berita-18788-budaya-dan-demokrasi.html